Setiap Instansi Miliki Porsi Wewenang Masing-Masing
Suasana pertemuan Kepala BK DPR RI Kadir Johnson Rajagukguk dengan Anggota DPRD Kabupaten Nias, Sumut/Foto:Azka/Iw
Kepala Badan Keahlian DPR RI Kadir Johnson Rajagukguk menerima kunjungan DPRD Kabupaten Nias, Sumatera Utara, terkait rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Nias untuk melakukan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Nias nomor 1 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nias terhadap pengklasifikasian kawasan hutan lindung.
Johnson menilai, revisi terhadap Perda tersebut boleh saja dilakukan apabila merupakan suatu kebutuhan dari pemerintah daerah dan kebaikan bagi masyarakat. Namun ia menegaskan, Pemda jangan sampai masuk ke kewenangan yang bukan ranahnya. Mengingat hutan lindung merupakan kewenangan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sehingga pemerintah daerah memiliki batasan untuk itu.
“Perubahan terhadap Perda tata ruang boleh saja dilakukan, seperti ada keinginan untuk menjadikan kawasan yang sekarang dikategorikan sebagai hutan lindung itu diubah menjadi kawasan apapun. Hanya menurut UU, itu kewenangann pemerintah pusat. Jadi kalau mau dilakukan perubahan, harus diubah dulu mengenai statusnya dan harus di alih fungsikan,” ungkap Johnson saat menerima Ketua DPRD Nias beserta jajarannya di ruang rapat BK, Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Johnson menjelaskan bahwa kewenangan Badan Pembentukan Peraturan Daerah di DPRD hanya untuk harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi secara internal. Artinya kewenangan tersebut terbatas di lingkungan daerah masing-masing.
“Setiap lembaga punya porsi kewenangan masing-masing. Jadi silahkan di revisi, sepanjang itu misalnya revisi terhadap tata ruang yang ada, karena ada penyesuaian terhadap penggunaan ruang dan wilayah yang ada di Kabupaten Nias,” tambah Johnson.
Anggota DPRD Kabupaten Nias Badurani Waruwu mengatakan, Perda tersebut tidak sesuai dengan kondisi tata ruang dan wilayah di kabupaten tersebut. Sehingga pertemuan ini dimaksud untuk memperjelas dan meminta masukan DPR agar tidak ada perdebatan-perdebatan kedepannya ketika akan membahas dan menetapkan suatu Perda.
“Disitu telah ditetapkan Perdanya pada tahun 2014 yang lalu, tetapi pada implementasinya pada masyarakat sekarang ini mengalami semacam jebakan. Karena di tata ruang wilayah kami, disitu tercantum luas wilayah hutan lindung itu. Padahal kenyataannya di lapangan, sesungguhnya hutan lindung itu tidak ada di kabupaten kami,” kata Badurani.
Masih dalam kesempatan yang sama, persoalan mengenai pihak yang berwenang dalam pembuatan naskah akademik, Johnson menegaskan soal naskah akademik boleh dibuat oleh siapapun sepanjang memiliki kapasitas dan memenuhi standar yang sudah ditetapkan dalam penyusunan naskah akademik tersebut.
“Jadi bukan berarti kalau akademik berarti akademisilah yang membuat. Sebab yang dimaksud naskah akademik itu adalah kajian atau argumentasi ilmiah sebenarnya dengan menggunakan metode ilmiah atau metode lain. Nah itu yang penting,” tandas Johnson. (apr/sf)